KEBIJAKAN HUKUM PERKAWINAN POLIGAMI DALAM PEMENUHAN HAK ISTRI KEDUA BERDASARKAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

(Studi Komparasi Fiqih Munakahat dan SEMA No 2 Tahun 2019)

  • Awal Luddin UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda
  • Devi Kasumawati UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda
Keywords: Poligami, Fikih Munakahat, Sema No 2 tahun 2019

Abstract

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya fenomena perkawinan poligami, beberapa pakar
hukum terpecah ke dua kubu. Apakah poligami layak diisbat atau tidak? Sebagian ahli hukum
menilai bahwa perempuan yang dipoligami perlu dilindungi hak-haknya sehingga isbat
poligami seharusnya diperbolehkan. Mengingat dengan tidak adanya pencatatan perkawinan,
hal ini berakibat atas tidak terjaminnya hak-hak istri dalam rumah tangga. Oleh kerana itu
apabila terjadi hal-hal negatif atas perempuan, negara tidak bisa hadir guna mengatasi
problematika yang dihadapi perempuan poligami. Inkonsistensi aturan ini menjadikan polemik ketidakadilan serta para pihak pencari keadilan tidak memperoleh kepastian hukum.
Di sinilah regulasi Sema no 2 tahun 2019 tersebut masih perlu dipertanyakan serta sejauh
mana pemberlakuannya, dan juga apakah sema no 2 tahun ini masih relevan untuk diterapkan
dengan melihat realita yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini menggunakan penelitian
kepustakaan (library research). Hasil penelitian ini menunjukan perbandingan antara Fiqih
Munakahat dan aturan Sema no 2 tahun 2019, hak istri kedua menurut Fikih munakahat yaitu
perkawinan yang lebih dari satu wanita dalam waktu bersamaan tanpa izin pengadilan
merupakan perkawinan yang sah saja menurut ketentuan fikih. Terkait hak istri kedua
menurut fikih munakahat yaitu istri yang izin maupun tidak izin pengadilan perkawinannya
apabila rukun dan syaratnya terpenuhi, maka hak istri muncul sejak ijab kabul itu usai di
lakukan. Sedangkan Perkawinan poligami terhadap hak istri kedua menurut Sema No 2 tahun
2019 yaitu perkawinan yang lebih dari satu bahwa suami harus meminta izin kepada istri
pertamanya ketika ingin berpoligami dan izin pengadilan, istri kedua yang tidak di catatkan
perkawinannya maka tidak memiliki kekuatan hukum.

References

Beni Ahmad Saebani, Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Bandumg:
Pustaka Setia, 2011), hlm. 117-118
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 55 ayat (2) suami mampu berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka menjadi syarat utama apabila suami ingin beristri
lebih dari satu orang (poligami). Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Akademik Pressindo, 1992), h. 126.
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, Undang-undang
Perkawinan, hlm.2
Https://blog.justika.com/keluarga/kedudukan-istri-kedua-dalam-islam.
Mengenal
kedudukan istri kedua dalam islam danpenerapannya”, Akses 30 juni 2023
Lihat Pasal 38 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Muhammad Isna Wahyudi, “Berbagai Argumentasi Hukum dalam Pengesahan Nikah”,
h. 1, dalam http: //www.badilag.net, diakses tanggal 01 Maret 2017
Syaikh Ibrahim al Bajuri, Hasyiyah al Bajuri libni Qasim, Jilid II, (Semarang: Toha Putra,
t.th.), h. 93.
Tihami dan Sohari Sahrani, fikih munakahat:kajian Fikih lengkap (Depok, 2018),hlm
367.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 4 ayat (1) jo. Inpres Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 56 ayat (1).
Yufi Wiyos Rini Masykuroh, “Poligami dan keadilan”, Asas, Vol 3, No 2 Juli 2011, hlm.
14
Published
2025-01-31